Saturday, 24 February 2018

Hukum Menikah Dengan Pasangan Zina



Fiqih pernikahan pada dasarnya adalah sesuatu yang sakral dimana tujuan pernikahan dalam Islam adalah  untuk memiliki keturunan apabila ini didasari dengan hukum pernikahan. Dasar hukum Islam sendiri sudah menganjurkan umatnya untuk melakukan pernikahan sebab ada banyak hikmah yang terkandung dalam pernikahan itu sendiri dan pernikahan adalah fitrah manusia. Manusia sudah diciptakan Allah SWT menjadi makhluk yang berpasang pasangan, dimanan seorang lelaki membutuhkan wanita dan wanita membutuhkan pria.

Sedangkan zina merupakan persetubuhan yang dilakukan oleh seorang lelaki dan perempuan diluar nikah dan hanya mengikuti hukum syarak atau bukan pasangan suami isteri serta keduanya adalah orang yang mukallaf serta persetubuhan yang tidak termasuk kedalam takrif atau persetubuhan meragukan.

“Perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina, hendaklah kamu sebat tiap-tiap seorang dari kedua-duanya 100 kali sebat, dan janganlah kamu dipengaruhi oleh perasaan belas kasihan terhadap keduanya dalam menjalankan hukum Agama Allah, jika benar kamu beriman kepada Allah dan hari Akhirat, dan hendaklah disaksikan hukuman siksa yang dikenakan kepada mereka itu oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”. (Surah An- Nur ayat 2)

Namun pada kenyataannya, sekarang ini pasangan muda seringkali sudah melakukan zina sebelum terjalin sebuah rumah tangga menurut Islam dengan berbagai alasan seperti awalnya yang tidak berniat untuk berzina namun karena khilaf dan tidak mengindahkan larangan untuk berkhalawat dan sebagainya, maka akhirnya masuk dalam jerat setan dan terjerumus dalam zina yang diharamkan.

1. Menikah Sesudah Zina

Salah satu yang dilakukan para pasangan tersebut sesudah zina dan mungkin pasangannya sudah terlanjur hamil akhirnya dilakukan. Lalu, bagaimana hukum menikah dengan pasangan zina dalam Islamdan  menurut sudut pandang syariah?, apakah diperbolehkan menikah dengan pasangan zina?, langsung saja anda melihat ulasannya berikut ini.

Ada salah satu ayat yang lalu dipahami dengan arti berbeda oleh beberapa ulama meski jumhur ulama memahami jika ayat tersebut adalah bukan bentuk pengharaman untuk menikahi wanita yang pernah berzina. “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu`min. (QS. An-Nur : 3)”

2. Pendapat Jumhu [Mayoritas] Ulama

Jumhurul Fuqaha menyatakan jika yang dipahami pada ayat diatas adalah bukan mengharamkan untuk menikahi wanita yang pernah berzina dan bahkan mereka memperbolehkan menikahi wanita yang merupakan pezina. Kemudian, bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkan hal tersebut?

Para fuqaha mempunyai 3 alasan dalam hal tersebut dan dalam hal ini mereka menyatakan jika lafaz hurrima atau diharamkan pada ayat tersebut bukan pengharaman akan tetapi tanzih atau dibenci. Selain itu, mereka juga mengungkapkan jika apabila memang diharamkan, maka hal tersebut lebih menjurus pada kasus khusus pada saat ayat diturunkan. Mereka mengatakan jika ayat tersebut sudah dibatalkan menyangkut ketentuan hukum atau di nasakh dengan ayat lainnya yakni:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui“. (QS> An-Nur : 32)

Pendapat tersebut adalah pendapat Abu Bakar As Shiddiq ra dan juga Umar bin Khattab ra serta fuqaha pada umumnya dan mereka memperbolehkan seorang pria untuk menikah dengan wanita berzina dan juga jika seseorang sudah pernah berzina tidaklah diharamkan dirinya untuk menikah secara syah.

Pendapat tersebut diperkuat dengan hadits, “Dari Aisyah ra berkata,`Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda,`Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal`. (HR. Tabarany dan Daruquthuny).


Hadits kedua adalah, “Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW,`Istriku ini seorang yang suka berzina`. Beliau menjawab,`Ceraikan dia`. `Tapi aku takut memberatkan diriku`. `Kalau begitu mut`ahilah dia`. (HR. Abu Daud dan An-Nasa`i)

3. Pendapat Yang Mengharamkan

Sedangkan untuk sebagian lagi berpendapat jika menikah dengan wanita yang sudah pernah berzina adalah haram seperti pendapat dari Aisyah ra, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra` dan Ibnu Mas`ud. Mereka berkata jika seorang pria yang berzina dengan wanita, maka ia diharamkan untuk menikahi wanita tersebut begitu juga dengan wanita yang sudah pernah berzina dengan pria lain maka diharamkan untuk dinikahi pria yang baik dan bukan pezina.

Ali bin abi Thalib bahkan berkata jika terjadi perselingkuhan dalam rumah tangga dimana seorang isteri berzina, maka sangat wajib pasangan tersebut diceraikan dan begitu juga jika suami berzina. Semuanya ini diambil atas dalil zahir ayat an Nur:3. Selain itu, mereka juga berdalil dengan hadits dayyuts yakni orang yang tidak memiliki rasa cemburu apabila isterinya melakukan selingkuh dalam Islam dan tetap menjadikan wanita tersebut sebagai isterinya.

Dari Ammar bin Yasir bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Tidak akan masuk surga suami yang dayyuts`. (HR. Abu Daud).

4. Pendapat Yang Menengahi

Pendapat pertengahan dalam hal ini adalah dari Imam Ahmad bin Hanbal dimana beliau mengharamkan seseorang untuk menikah dengan wanita yang masih suka berzina dan belum melakukan pertaubatan. Jika pernikahan tetap terjadi, maka pernikahan tersebut tidaklah sah.

Akan tetapi, jika wanita tersebut sudah tidak berbuat dosa dan dan melakukan cara bertaubat dari zina, maka tidak terdapat larangan untuk menikahi wanita tersebut dan jika pernikahan berlangsung maka nikah tersebut syah secara syar’i.

Ulama kalangan mazhab Hambali mengemukakan pendapat jika pernikahan antara wanita pezina yang belum bertaubat hukumnya adalah tidak sah dan mereka tidak menjadikan taubat pezina laki laki sebagai syarat sha dalam pernikahan tersebut. [Al-Inshaf, 8/132, Kasyaful Qana, 5/83]

Pendapat ketiga inilah yang sesuai dengan asas perikemanusiaan sebab jika seseorang sudah bertaubat, maka ia mendapat haknya kembali untuk bisa hidup dengan normal dan memperoleh pasangan yang baik.

No comments:

Post a Comment